Status dan kekuasaan tersebut tercermin secara hierarkis dan struktural dalam lapisan masyarakat. Secara sosiologis, lapisan sosial akan menentukan status sosial masyarakat. Hal ini secara jelas terlihat di lingkungan kampus sebagai basis akademis. Struktur birokrasi kampus yang secara vertikal terbagi dalam bagian-bagiian tertentu, memberi label-label yang memperlihatkan kekuatan untuk menempatkan diri.
Mahasiswa misalnya, menjadi input sentral untuk digembleng diranah through put. Mereka menjadi aset (out put) yang siap untuk diberdayakan. Keberadaan mereka sering diibaratkan sebagai perubah (agen of change) atau cadangan kekuatan masa depan (iron stock).
Keberadaan mahasiswa dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati. Hanya saja, pada umumnya perhatian diarahkan pada kemampuan kognitif dan psikomotor dan sangat jarang menyentuh tataran yang lebih maknawi yakni aspek afektif.
Beragam penelitian yang muncul umumnya diarahkan untuk menilai kualitas pembelajaran secara akademis dan sedikit menafikkan aspek moral. Akibatnya muncul ketimpangan yang tergambar pada meningkatnya aspek akademik, tapi sebaliknya moral semakin terkikis. Salah satunya, terlihat dari cara berpakaian mahasiswa yang mulai tidak mencerminkan kepribadian. Persoalan semacam ini yang kemudian memunculkan “penyakit” kehilangan identitas (lost identity).
Secara formal, kerapian dikaitkan dengan cara berpakaian bagi laki-laki dan perempuan. Demikian juga kesopanan, dikaitkan dengan relasi gender. Perempuan misalnya, akan terlihat lebih sopan jika menggunakan rok, bluse, kemeja yang tidak ketat dan jilbab, terutama bagi yang muslim. Hal ini juga dikaitkan dengan relasi agama Islam, bahwa menutup aurat adalah wajib hukumnya.
Sumber :http://asriningsih.wordpress.com/2010/06/14/etika-berpakaian-mahasiswa/
dipost: 21 oktober 2011
Oleh Dendy Damhudi
3KA04
15109327
Tidak ada komentar:
Posting Komentar