Prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendara dengan Kanjeng Pangeran Haryo pada Minggu (16/10) hingga Selasa (18/10) berdampak positif bagi budaya Yogyakarta.

Pemberitaan yang begitu gencar mengenai prosesi pernikahan putri bungsu Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu berdampak pada dikenalnya budaya Yogyakarta khususnya perkawinan agung ala keraton secara luas.

"Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya ucapan selamat atas pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara dari berbagai negara yang diterima Sekretariat Gubernur DIY di Kompleks Kepatihan," kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY Kuskasriyati.

Negara-negara itu antara lain Aljazair, Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Inggris, Norwegia, Jerman, Suriname, dan Slovakia.

Menurut dia, hal itu membuktikan pemberitaan media massa baik cetak, elektronik maupun online (dalam jaringan) dari dalam dan luar negeri mampu mengangkat budaya Yogyakarta tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional.

"Media massa asing yang mempublikasikan prosesi pernikahan itu di antaranya berasal dari China, Inggris, Jerman, Jepang, Suriname, Aljazair, Mesir, Hong Kong, dan Suriname," katanya.

Prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara memang dikemas secara adat keraton yang merupakan salah satu unsur budaya Yogyakarta yang selama ini jarang diketahui masyarakat secara luas.

Prosesi dimulai dari ritual "nyantri" calon mempelai putra serta "pelangkahan" dan "ngabekten" calon mempelai putrai pada Minggu (16/10). Prosesi dilanjutkan pada Senin (17/10) dengan ritual "siraman", "tantingan", dan "midodareni".

Selanjutnya pada Selasa (18/10) dilakukan prosesi ijab qabul atau akad nikah, "panggih", kirab pengantin, dan resepsi pernikahan di Kepatihan.

Prosesi "nyantri" dimulai dengan penjemputan calon pengantin putra KPH Yudanegara di Ndalem Mangkubumen. Adik Sultan, KGPH Hadiwinoto mengutus KRT Jatiningrat dan KRT Yudahaningrat untuk menjemput KPH Yudanegara beserta keluarga yang tinggal di Ndalem Mangkubumen.

Selanjutnya penjemput dan calon pengantin putra beserta keluarga menaiki tiga kereta, yakni Kyai Kutha Kaharjo, Kyai Puspaka Manik, dan Kyai Kus Gading dikawal oleh prajurit berkuda melewati kawasan Ngasem menuju Magangan. KPH Yudanegara naik Kyai Puspaka Manik.

Di Regol Magangan, rombongan KPH Yudanegara beserta keluarga disambut kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk selanjutnya menuju Bangsal Kasatriyan.

Di depan Bangsal Kasatriyan, rombongan calon pengantin putra disambut adik Sultan, KGPH Hadiwinoto. Selanjutnya, KPH Yudanegara menjalani prosesi "nyantri" di Bangsal Kasatriyan.

Menurut abdi dalem keraton Mas Wedhana Rono Wiratmo, prosesi "nyantri" dulu dilakukan 40 hari menjelang pernikahan. Namun, saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, "nyantri" dilakukan secukupnya dan seperlunya saja menjelang pernikahan.

"Nyantri bertujuan untuk mengenalkan calon pengantin putra kepada anggota keluarga keraton, agar dapat lebih mengenal calon menantu," katanya.

Pada hari yang sama (Minggu, 16/10), calon pengantin putri GKR Bendara menjalani prosesi "pelangkahan" dan "ngabekten" di Ndalem Ageng Keraton Kilen.

"Pelangkahan" yang dijalani GKR Bendara adalah ritual keraton sebagai bentuk penghormatan karena pengantin putri menikah mendahului kakaknya GRAj Nur Abra Juwita.

Sultan yang hadir dalam ritual tersebut kemudian memerintahkan pengantin putri untuk menyerahkan "pelangkahan" kepada kakaknya sebagai wujud permohonan doa restu memulai prosesi pernikahan.

Dalam upacara "pelangkahan" tersebut diserahkan beberapa bentuk perhiasan, tas, sepatu, dan dompet. Pada prosesi itu juga diserahkan setangkep pisang sanggan sebagai syarat "pelangkahan".

Setelah penyerahan "pelangkahan", GKR Bendara yang mengenakan kebaya warna abu-abu, kemudian melakukan upacara "ngabekten" dengan sungkem kepada Sultan dan GKR Hemas.

Siraman
Prosesi pernikahan pada hari kedua, Senin (17/10) diawali dengan ritual "siraman" untuk calon pengantin. GKR Bendara menjalani siraman di Sekarkedhaton, sedangkan KPH Yudanegara mengikuti presesi yang sama di Kasatriyan. Siraman kedua mempelai itu dipimpin istri Sultan, GKR Hemas.

Siraman menggunakan air yang diambil dari tujuh sumber di keraton yang dicampur dengan bunga mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Air dimbil dari sumber di Ndalem Bangsal Sekarkedhaton, Regol Manikhantoyo, Bangsal Manis, Regol Gapura, Regol Kasatriyan, Kasatriyan Kilen, dan Gadri.

Ritual siraman dimulai dari calon pengantin putri. Dalam ritual tersebut GKR Bendara mengenakan kain mori putih dan kain jarit batik bermotif "sido asih" yang ditutup untaian melati.

GKR Hemas yang pertama kali melakukan siraman, diikuti ibu calon pengantin putra Ny Nurbaiti Helmi, GBRAy Murdokusumo, BRAy Mooryati Soedibyo, dan Nyai Kangjeng Raden Penghulu Dipodiningrat.

Ritual itu diawali dengan menyiram air dari kepala, bahu, tangan, dan kaki calon pengantin putri. Siraman diakhiri dengan prosesi memecah "klenting" (tempat air dari tanah liat) yang dihias untaian melati oleh GKR Hemas dan Nyai Kangjeng Raden Penghulu Dipodiningrat.

Usai calon pengantin putri, siraman dilanjutkan untuk calon pengantin putra di Bangsal Kasatriyan. KPH Yudanegara juga mengenakan kain mori putih dan kain jarit batik bermotif "sido asih".

GKR Hemas juga yang pertama kali melakukan siraman, diikuti Ny Nurbaiti Helmi, GBRAy Murdokusumo, BRAy Mooryati Soedibyo, dan Nyai Kangjeng Raden Penghulu Dipodiningrat. Siraman calon pengantin putra juga diakhiri dengan memecah "klenting".

Menurut Koordinator Penyelenggara Prosesi Pernikahan KRT Yudahadiningrat, ritual siraman memiliki makna agar calon pengantin bersih secara lahir maupun batin, dan semua hal yang buruk ditinggalkan.

"Ritual tersebut wajib dilakukan calon pengantin, sehari sebelum akad nikah," katanya.

Prosesi pernikahan selanjutnya adalah "tantingan" di emper Prabayeksa. Dalam ritual itu Sultan menanyakan kemantapan hati putrinya untuk menikah dengan KPH Yudanegara.

Dalam ritual yang berlangsung secara lesehan di atas karpet merah yang ditaburi bunga melati tersebut Sultan menanyakan apakah GKR Bendara telah merasa siap dan mantap menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara.

GKR Bendara kemudian menjawab bahwa dirinya telah mantap. Dialog itu dilakukan dalam bahasa Jawa.

GKR Bendara selanjutnya menandatangani surat persetujuan nikah. Surat tersebut juga ditandatangani Sultan sebagai orang tua calon pengantin putri di depan dua penghulu keraton.

GKR Bendara kemudian melakukan "sungkem" kepada Sultan. Dalam ritual "tantingan" tersebut, Sultan mengenakan busana surjan bermotif kembang didampingi istri GKR Hemas yang memakai kebaya merah muda, dan putri sulung GKR Pembayun yang mengenakan kebaya keemasan.

GKR Bendara didampingi kakaknya GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, dan GRAj Nur Abra Juwita. Mereka juga mengenakan kebaya keemasan.

Menurut adik Sultan, GBPH Prabukusumo, "tantingan" merupakan ritual untuk meyakinkan kesiapan dan kemantapan hati GKR Bendara yang akan menikah.

"Dalam ritual itu Sultan kembali meminta kemantapan putrinya untuk menikah, dan tadi langsung dijawab mantap," katanya.

Usai menggelar ritual "tantingan" yang disaksikan kerabat keraton, abdi dalem, dan penghulu keraton, Sultan dan GKR Hemas menuju Bangsal Kasatriyan untuk melihat kesiapan calon pengantin putra KPH Yudanegara.

Di bangsal tersebut, Sultan dan GKR Hemas bertemu dengan orang tua dan keluarga KPH Yudanegara dan beramah tamah.

Selanjutnya, Sultan menuju Bangsal Sekar Kedhaton untuk melihat GKR Bendara yang sedang menjalani ritual "midodareni" sebelum akad nikah.

Ijab-Panggih
Prosesi pernikahan pada hari ketiga, Selasa (18/10) diawali ritual ijab kabul atau akad nikah yang dilakukan dengan bahasa Jawa. Akad nikah KPH Yudanegara dengan GKR Bendara langsung dilakukan sendiri oleh Sultan pada pukul 07.10 WIB.

KPH Yudanegara yang berasal dari Lampung fasih mengucapkan bahasa Jawa saat ijab kabul atau di Masjid Panepen Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sebelum akad nikah dimulai, Sultan sudah hadir di dalam Masjid Panepen. Sultan mengenakan busana motif kembang warna hijau dan hitam dengan kain batik serta blangkon motif truntum.

KPH Yudanegara tiba di Masjid Panepen didampingi KGPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan KPH Wironegara. Yudanegara mengenakan busana atela warna putih dengan kain motif truntum, sedangkan abdi dalem Kaji (penghulu) dipimpin Kanjeng Raden Penghulu Dipodiningrat juga tiba lebih dulu sebelum pengantin datang.

Sultan kemudian memerintahkan Kanjeng Raden Penghulu untuk memulai khutbah nikah. "Kanjeng Raden Penghulu miwiti caos khutbah nikah (Kanjeng Raden Penghulu silakan memberi khutbah pernikahan)," kata Sultan.

Prosesi ijab kabul diakhiri dengan doa yang dipimpin Kanjeng Raden Penghulu. Usai akad nikah selanjutnya dilaksanakan ritual "panggih" pengantin.

"Panggih" pengantin diawali dengan tari "edan-edanan" yang dibawakan tiga penari sebagai simbol tolak bala diiringi rombongan abdi dalem Keparak yang membawa kembar mayang dan pisang sanggan.

Selanjutnya, pengantin putra KPH Yudanegara didampingi GBPH Suryodiningrat dan GBPH Suryomentaram datang di Bangsal Kencana dari Kasatriyan. Mereka diiringi KGPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Yudhaningrat.

Pengantin putra mengenakan busana tradisional Yogyakarta paes ageng dengan kain "kampuh" (dodot) batik bermotif semen raja berwarna hijau dan ungu keemasan serta celana batik cinde merah dengan memakai "kuluk" (topi) putih serta memakai sejumlah perhiasan berupa kalung, anting, gelang, dan cincin.

Pengantin putra bersama pendamping berdiri di emper Bangsal Kencana menunggu kehadiran pengantin putri GKR Bendara dari Sekar Kedhaton.

Beberapa saat kemudian pengantin putri yang berbusana serupa dengan sanggul dihias untaian melati dan bunga serta dilengkapi perhiasan hadir didampingi BRAy Suryodiningrat dan BRAy Suryomentaram diiringi GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, dan GRAj Nur Abra Juwita.

Upacara "panggih" dimulai dengan lempar sirih. Pengantin putra dan putri saling melempar sirih sebagai simbol bersatunya hati.

Prosesi dilanjutkan pengantin putri GKR Bendara membasuh kaki pengantin putra KPH Yudanegara sebagai simbol kesetiaan seorang istri kepada suami.

Selanjutnya prosesi "pondongan", pengantin putra KPH Yudanegara dibantu GBPH Suryodonindrat "memondong" pengantin putri GKR Bendara sebagai wujud tanggung jawab suami kepada istri.

Setelah "pondongan", pengantin putri dan putra kemudian berjalan menuju pelaminan di Tratag Bangsal Prabayeksa diiringi Sultan dan GKR Hemas serta orang tua KPH Yudanegara untuk menerima ucapan selamat dari para tamu.

"Panggih pengantin" disaksikan Presiden Susilo bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono dan istri Ny Herawati, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, anggota MPR, DPR, DPD, mantan wakil presiden, mantan menteri, dan duta besar negara sahabat.

Bangsal Kencana yang digunakan untuk proses "panggih" tampak semarak dengan berbagai hiasan kain berwarna oranye, merah, dan putih serta janur hias di sejumlah sudut. Suasana bertambah semarak dan meriah dengan alunan gending dari gamelan yang ditabuh para niyaga

Prosesi dilanjutkan dengan "dhahar klimah", pengantin putra KPH Yudanegara mengambil nasi kemudian "dikepel" dan diletakkan di piring pengantin putri GKR Bendara. Nasi yang telah "dikepel" itu kemudian dimakan oleh GKR Bendara.

Menurut Koordinator Penyelenggara Pernikahan GKR Bendara-KPH Yudanegara, KRT Yudahadiningrat, upacara "panggih" adalah bertemunya pengantin putra dan pengantin putri setelah resmi melakukan akad nikah.

"Upacara `panggih` merupakan simbolisasi yang mengibaratkan sebuah pertemuan sakral dalam sebuah ikatan perkawinan. Pasangan pengantin dipertemukan dalam sebuah rangkaian lengkap yang sarat makna, agar dalam setiap tahap kehidupan keluarga kelak memperoleh jalan terbaik," katanya.

Kirab Pengantin
Rombongan pengantin GKR Bendara dan KPH Yudanegara yang dikirab dari keraton menuju Bangsal Kepatihan harus membelah lautan manusia yang sudah menutup jalan yang dilalui mempelai.

Iring-iringan rombongan mempelai yang akan melakukan resepsi di Bangsal Kepatihan tersebut dipimpin oleh bergada prajurit keraton.

Kedua mempelai menaiki Kereta Jong Wiyat yang berada di barisan kedua iring-iringan kereta. Keduanya mengenakan kebaya warna merah marun dengan rias paes ageng jangan menir.

Masyarakat pun langsung bertepuk tangan dan kemudian melambaikan tangan kepada kedua mempelai saat mereka melintas.

Di dalam kereta yang berbentuk terbuka tersebut, kedua mempelai juga terus membalas salam kepada seluruh masyarakat yang telah rela berdesak-desakan untuk melihat pengantin dari dekat.

Sejumlah masyarakat bahkan rela naik ke tiang lampu antik, atau menaiki pagar, menaiki sepeda motor atau naik ke atap gedung dengan tujuan mampu melihat jalannya kirab dengan lebih baik.

Di belakang kereta yang membawa kedua mempelai, juga terdapat sejumlah iring-iringan kereta dari keluarga, di antaranya adalah Kereta Kyai Permili, Kyai Roto Biru, Kyai Kus Cemeng, dan Kyai Kus Ijem.

Iring-iringan kirab tersebut kemudian ditutup oleh barisan prajurit berkuda yang berjumlah 20 orang.

Kirab pengantin tersebut dimulai dari Gedong Srikaton, kemudian melalui Jalan Rotowijayan, melintasi depan Masjid Gedhe Kauman, menuju Kantor Pos Besar, Pasar Beringharjo, kemudian melewati Toko Batik Terang Bulan untuk selanjutnya masuk ke Bangsal Kepatihan.

Di sepanjang jalan yang dilalui rombongan kirab juga telah dipasangi 100 buah penjor dari janur kuning dengan tujuan agar suasana di sepanjang jalan terlihat lebih semarak.

Selama pelaksanaan kirab hingga resepsi pernikahan , jalan-jalan di kawasan Malioboro ditutup, antara lain jalan di sekitar Alun-alun Utara, simpang empat Kantor Pos Besar, Jalan Ahmad Yani hingga Malioboro akan ditutup setelah pukul 16.00 WIB sebelum kirab berlangsung.

Sebanyak 2.500 tamu undangan menghadiri resepsi pernikahan putri bungsu Sultan tersebut. Resepsi pernikahan berlangsung mulai pukul 19.00 WIB di Bangsal Kepatihan, kompleks Kantor Gubernur DIY.

Untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan di sekitar kawasan Kepatihan, Malioboro, dan Jalan Mataram, maka panitia mengarahkan semua kendaraan tamu untuk diparkir di Alun-alun Utara. Tamu dari tempat itu selanjutnya dibawa menggunakan "shuttle" bus yang telah disediakan.

Resepsi pernikahan yang diawali dengan doa itu dimeriahkan tari tradisional Bedaya Manten dan Beksan Lawung Ageng. Bedaya manten dimainkan oleh enam penari putri, sedangkan Beksan Lawung Ageng oleh sembilan penari putra.

Kedua tarian tradisional tersebut biasa dipentaskan ketika keluarga keraton mempunyai hajat pernikahan. Tarian diiringi gending dari gamelan yang ditabuh para niyaga.

Pelaminan kedua mempelai tampak megah dan semarak dengan berbagai hiasan dari janur dan bunga. Kedua mempelai mengenakan kebaya warna hitam dengan paes ageng jangan menir dan kain batik.

Sultan dan GKR Hemas duduk di samping kanan mempelai, sedangkan orang tua Yudanegara duduk di sebelah kiri pengantin.

Sultan mengenakan surjan bermotih bunga berwarna kuning, hijau, dan ungu dengan dasar hitam dan kain batik dengan memakai blangkon, sedangkan GKR Hemas mengenakan kebaya berwarna hijau dan kain batik.

Bangsal Kepatihan juga tampak semarak dengan hiasan janur dan bunga dalam berbagai bentuk. Beberapa tenda berwarna merah dan putih juga dipasang di luar Bangsal Kencana untuk duduk para tamu.

Tempat duduk di beberapa tenda yang dipasang di halaman Bangsal Kepatihan tampak dipenuhi tamu resepsi pernikahan agung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang penuh dengan nuansa budaya Yogyakarta pada khususnya dan budaya Jawa pada umumnya.
(B015*H010)

Sumber :http://www.antaranews.com/berita/280457/pernikahan-putri-sultan-angkat-budaya-yogyakarta

Dipost tanggal 21 oktober 2011
Oleh Dendy Damhudi
3KA04
15109327